Tapanuli Selatan, Apapun dalih alasan masalahnya wanita diancam bahkan dianiaya oleh dua orang laki laki hukum pidana internasional pun selain juga diagamsvapapuntidak dibenarkan sangat salah melanggar hukum perlu diadili kaum Hawa mendapatkan keadilan yang seadil adilnya alalagi di Indonesia yang berasaskan pancasila UUD 1945",terang Prof Dr Sutan Nasomal SH MH Pakar hukum pidana internasional menanggapi materi pertanyaan sejumlah pemimpin redaksi media cetak maupun onlen dam dan luar negeri yang viral di Batangtoru Tapanuli Selatan Sumatera Utara dikantornya markas pusat partai oposisi merdeka di bilangan Kalisari Cijantung jakarta, Sebagaimana yang terjadi Perjuangan hukum seorang ibu rumah tangga Hennitawati Lubis (47), warga Desa Sipenggeng, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, korban penganiayaan oleh dua orang pria dewasa. Tercatat dalam laporan polisi, korban mengungkapkan bahwa peristiwa kekerasan terjadi sekitar pukul 07.00 WIB, tidak jauh dari rumahnya.
Awalnya, pertengkaran terjadi terkait sengketa tapal batas tanah antara korban dengan dua orang pelaku, yaitu Misnan Nasution alias MN dan Aliman Hutabarat alias AH. Namun, pertengkaran mulut itu berujung pada tindakan kekerasan fisik. Kedua pelaku diduga menarik jilbab dan baju korban hingga robek, bahkan mempermalukan korban karena bagian tubuh sensitifnya terlihat akibat tidak mengenakan penutup dalaman dada saat itu.
Pihak keluarga korban menyatakan bahwa hingga kini Hennitawati Lubis masih mengalami trauma dan ketakutan mendalam saat bertemu dengan kedua pelaku, selama kasus ini di proses oleh kepolisian Tapanuli Selatan, kedua pelaku tidak di lakukan penahanan fisik yang mana tempat tinggal kedua pelaku pengeroyokan dengan korban tidak berjauhan.
Kasus ini sempat tertunda di kepolisian tapanuli selatan karena rotasi personil di Polres Tapanuli Selatan dan pergantian jaksa penuntut umum sehingga dalam rentang waktu lebih dari satu tahun kasus ini kembali di proses di Polres Tapanuli selatan dan pada Selasa 03 Juni 2025 kasus ini telah teregistrasi di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan dengan Nomor Perkara: 228/Pid.B/2025/PN Psp
*Sidang Perdana Kasus Penganiayaan Warga Sipenggeng Digelar di PN Padangsidimpuan, JPU Mengurai Kronologi Kejadian*
Perjuangan Hennitawati Lubis tidak berhenti dalam proses di kepolisian, Ia juga terus berjuang di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan untuk mendapatkan keadilan. Sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri (PN) Padangsidimpuan pada Rabu (11/6) sekitar pukul 14.25 WIB di ruang sidang Cakra.
Agenda persidangan tersebut adalah pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hepni Agustiani, S.H., terhadap dua terdakwa, yaitu Aliman Hutabarat dan Misnan Nasution. Kedua pelaku didakwa melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap korban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHP dan dakwaan alternatif Pasal 351 Ayat (1) Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam tuntutan dakwaan, Jaksa Penuntun Umum (JPU) Hepni Agustiani, S.H mengurai Kronologi Kejadian di hadapan Hakim Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.
Kronologi Kejadian
Menurut dakwaan JPU, peristiwa terjadi pada Sabtu, 4 Mei 2024, sekitar pukul 07.00 WIB di kebun milik korban di Desa Sipenggeng. Korban mendapati adanya patok di kebunnya dan mempertanyakan hal tersebut kepada terdakwa Misnan Nasution. Terdakwa mengaku diperintah oleh Aliman Hutabarat. Perang mulut pun tak terhindarkan.
Kemudian, Misnan Nasution memegang leher baju korban, yang dilanjutkan dengan aksi mendorong oleh Aliman Hutabarat. Keduanya diduga mencakar dan menjambak korban, yang mengakibatkan baju korban robek serta luka memar di bagian dada. Aksi ini dihentikan oleh suami korban, Hamid Sulton Harahap.
Visum et Repertum RSUD Tapanuli Selatan menyebutkan terdapat beberapa luka memar di bagian dada korban, yang diduga akibat kekerasan benda tumpul.
Usai pembacaan dakwaan, pihak keluarga korban memohon kepada majelis hakim agar menolak permohonan penangguhan penahanan kedua terdakwa. Mereka meminta agar Aliman dan Misnan ditahan secara fisik selama persidangan berlangsung, mengingat korban masih satu kampung dengan para terdakwa dan mengalami trauma berat.
Permohonan ini disampaikan dengan dasar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 21, 26, dan 27 KUHAP mengenai wewenang hakim dalam melakukan atau menolak penahanan berdasarkan kondisi objektif dan subjektif.
*Sidang Lanjutan (sidang ke II), Sorotan Aktivis: Etika Hakim, Fokus Pokok Perkara, dan Isu Kekerasan terhadap Perempuan*
Sidang kasus ini menjadi perhatian luas sejak digelar pertama kali. Pada persidangan kedua Selasa 17/6/2025 lalu, dengan agenda Sidang mendengarkan kesaksian korban berlangsung memanas. Saat itu, saksi korban Hennitawati Lubis hadir langsung memberikan kesaksian terkait peristiwa pengeroyokan yang menimpanya pada Sabtu, 4 Mei 2024 sekitar pukul 07.00 WIB.
Namun dalam persidangan kali ini, kuasa hukum terdakwa, Sutan Raja Harahap, SH, mencoba mengaitkan kasus tersebut dengan isu sengketa lahan. Hal ini menimbulkan protes dari para aktivis yang hadir.
"Saya tertawa saat kuasa hukum terdakwa mencoba mengalihkan fokus perkara. Padahal jelas ini kasus penganiayaan. Majelis Hakim harusnya fokus membuktikan apakah benar telah terjadi kekerasan terhadap Hennita," tegas Fachrul Rozy Pulungan, aktivis yang mengikuti jalannya sidang.
Fachrul juga mengingatkan bahwa hukum negara dan agama melarang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan berharap majelis hakim memiliki kepekaan terhadap isu tersebut.
Desakan Aktivis: Hakim Harus Profesional, Netral, dan Berintegritas
Musno Saidi Siregar, aktivis sosial yang dikenal vokal di Kota Padangsidimpuan, turut memberikan pernyataan keras mengenai pentingnya netralitas dan profesionalisme hakim dalam perkara ini.
"Hakim harus menjaga netralitas, tidak memihak, sopan, tegas, dan menjunjung tinggi kode etik profesi. Semua pihak harus diberi ruang yang adil dalam pembuktian di pengadilan. Kami kawal kasus ini sampai tuntas," ujarnya.
Musno menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam jika dalam proses persidangan ditemukan indikasi ketidakadilan. Mereka bahkan mempersiapkan laporan resmi ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung apabila jalannya persidangan dianggap menyimpang dari nilai-nilai keadilan.
Aktivis Siap Gelar Aksi Bila Keadilan Tak Ditegakkan
Para aktivis dari berbagai lembaga sipil di Kota Padangsidimpuan menyatakan bahwa mereka akan terus mengawal sidang kasus pengeroyokan terhadap Hennita Wati Lubis hingga putusan. Bahkan, mereka menyatakan siap melakukan unjuk rasa damai jika keadilan bagi korban tidak ditegakkan.
"Kita tidak bicara politik. Ini soal kemanusiaan. Perempuan dianiaya, luka berat, dan ini terjadi di hadapan banyak saksi. Jika pengadilan tidak adil, maka kami akan turun ke jalan," ujar salah satu koordinator aktivis yang enggan disebutkan namanya.
*Sidang Lanjutan (Sidang ke III) Kasus Pengeroyokan Hennitawati Lubis Ditunda, Aktivis Padangsidimpuan*
Persidangan ke III (lanjutan) kasus pengeroyokan yang menimpa Hennita Wati Lubis, warga Desa Sipenggeng, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, mengalami penundaan. Agenda sidang yang seharusnya digelar di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri Padangsidimpuan pada Selasa 23 Juni 2025 sekira pukul 14.33 WIB harus ditunda karena hakim anggota II tengah menjalani cuti.
Penundaan ini memicu kekecewaan mendalam dari para aktivis dan saksi yang telah jauh-jauh datang dari Desa Sipenggeng untuk mengikuti jalannya sidang yang telah menjadi sorotan publik. Yuli Yanti Siregar, salah satu saksi yang dihadirkan, menyampaikan rasa kecewanya.
"Sekarang sudah teknologi canggih, semestinya tadi pagi kita diberitahu bahwa salah satu hakim ada yang cuti. Kita jauh loh dari Sipenggeng," ujarnya geram.
Yuli juga menyoroti etika dan komunikasi pihak pengadilan yang dinilainya kurang menghargai masyarakat pencari keadilan.
"Menurut hemat saya, para pejabat di negara ini harus punya etika dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Semestinya hakim di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan menghormati masyarakat yang hadir dalam persidangan," lanjutnya.
Sidang ke III ditunda karena Hakim Anggota II cuti maka kasus ini dijadwalkan kembali disidangkan pada Selasa, 1 Juli 2025, dan akan menjadi momentum penting bagi publik untuk melihat sejauh mana komitmen peradilan dalam menangani kekerasan terhadap perempuan.
*Sidang Lanjutan (Sidang ke IV), Hakim Diduga Alihkan Fokus Sidang Pengeroyokan Hennita Lubis, Mahasiswa Siap Turun ke Jalan*
Persidangan lanjutan (sidang ke IV) kasus pengeroyokan terhadap Hennitawati Lubis, yang sempat ditunda pada persidangan sebelumnya (Senin, 23 Juni 2025), kembali memantik perhatian publik. Sidang lanjutan (IV) yang digelar pada Selasa, 1 Juli 2025, memunculkan dugaan serius soal indikasi pelemahan perkara oleh unsur di dalam persidangan, termasuk hakim.
Sebelumnya, persidangan sempat ditunda pada 23 Juni 2025 karena salah satu hakim anggota tengah menjalani cuti. Penundaan ini menuai kritik keras dari kalangan aktivis dan mahasiswa, yang menilai bahwa alasan cuti tak semestinya menjadi penyebab pengabaian hak pencari keadilan.
Suasana ruang sidang ke IV memanas ketika Musno Saidi Siregar, salah satu aktivis yang memantau jalannya persidangan, melakukan aksi simbolik dengan menaikkan kakinya ke kursi sebagai bentuk protes. Ia menyatakan kecewa atas ketidakadilan yang dirasakannya selama mengikuti proses hukum kasus ini.
"Saya siap ditegur jika saya salah, tapi bagaimana dengan sikap hakim yang sewenang-wenang menunda sidang dan tidak menjunjung etika persidangan? Ini bukan soal pribadi, ini soal keadilan bagi korban," ujar Musno kepada awak media, Kamis (3/7/2025).
Dugaan Intervensi dan Ketidaknetralan Hakim
Musno juga mengungkap bahwa ada kesan kuat upaya pengalihan isu selama persidangan. Menurutnya, para hakim kerap mengarahkan pertanyaan ke soal status tanah, alih-alih fokus pada substansi utama: pengeroyokan terhadap seorang perempuan oleh dua pria dewasa.
"Ini sudah jelas-jelas pengeroyokan. Fakta di persidangan membuktikan itu. Tapi kenapa arah pertanyaan hakim malah berkutat pada status tanah? Ada apa?" ujarnya.
Ia menuding ketiga hakim yang menyidangkan perkara ini—Silvia Ningsih, S.H., M.H., Riky Rahman Sigalingging, S.H., M.H., dan Rudy Rambe, S.H.—telah mengenal para terdakwa secara emosional, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi objektivitas dalam memutus perkara.
Musno juga menyoroti sikap jaksa penuntut umum (JPU) yang dianggap pasif dan tidak menunjukkan empati pada korban. Ditambah dengan salah satu hakim yang disebut terlihat bermain ponsel dan tertawa saat persidangan berlangsung, memperparah persepsi publik atas integritas sidang.
Aksi Mahasiswa: Desakan Keadilan untuk Korban
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Sumatera Utara (BEMSU) turun ke jalan dan melakukan aksi protes di depan Pengadilan Negeri Medan, Kamis (3/7/2025), sebagai bentuk solidaritas terhadap Hennita Wati Lubis. Mereka mendesak peradilan bersih dan mendalam atas dugaan kelalaian serta praktik tidak etis yang dilakukan oknum hakim.
Musno memastikan, jika sidang berikutnya menghasilkan vonis ringan yang mencurigakan, maka Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Peduli Hak Rakyat Sumatera Utara akan menggelar aksi di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.
"Ini bukan hanya soal hukum positif. Di agama pun tidak dibenarkan laki-laki memukul perempuan. Kita akan kawal terus kasus ini sampai keadilan ditegakkan," tegas Musno.
Publik kini menanti bagaimana vonis akhir yang akan dijatuhkan terhadap dua terdakwa dalam kasus pengeroyokan terhadap ibu rumah tangga tersebut. Apakah hukum akan berpihak pada korban, atau justru melemah di hadapan intervensi kekuasaan dan kepentingan? Nara Sumber Prof Dr Sutan Nasomal Pakar Hukum Internasional, Ekonom juga Presiden Partai Oposisi Merdeka dan Jenderal Kompik dan Pengasuh Ponpes ASS SAQWA PLUS Jakarta 08118419260
Posting Komentar