Opini Ditulis oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NP, C.CL
(Direktur LKBH Makassar dan MSH Law Firm
Advokat dan Konsultan Hukum 085340100081)
Pembangunan Strategis Nasional (PSN) yang dijalankan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo sering dipromosikan sebagai motor pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta penciptaan lapangan kerja. Namun, di balik jargon pertumbuhan, PSN menyimpan wajah lain: luka ekologis dan konflik sosial. Perubahan hukum melalui UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020 jo. UU No. 6/2023) telah menggeser paradigma hukum lingkungan dari prinsip perlindungan ke arah deregulasi demi investasi.
Pembangunan Strategis Nasional (PSN) yang digadang sebagai mercusuar pembangunan kerap menjadi mata pisau bermata dua: di satu sisi memberi janji pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain menebar luka ekologis dan sosial. Melalui UU Cipta Kerja, perlindungan hukum lingkungan dipangkas demi investasi. Pertanyaan pun menyeruak: apakah tindakan Presiden dan pemerintah ini dapat digolongkan sebagai kejahatan lingkungan dan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad)?
Negara seharusnya hadir sebagai ibu yang merangkul anak-anaknya dengan kasih, melindungi tanah, air, dan udara tempat mereka bernaung. Namun dalam kenyataan, negara sering menjelma sebagai ayah tiri yang keras, berpihak kepada pemodal besar, dan tega menyingkirkan suara rakyat kecil yang menjerit di tengah bising mesin pembangunan. Inilah wajah nyata Pembangunan Strategis Nasional (PSN) di bawah payung UU Cipta Kerja: wajah pembangunan yang didekorasi dengan jargon “pertumbuhan ekonomi”, tetapi menyimpan luka ekologis yang dalam.
PSN: Antara Cita dan Luka
PSN lahir dari niat mulia: mempercepat infrastruktur, membuka lapangan kerja, dan mengerek pertumbuhan ekonomi. Namun di lapangan, banyak proyeknya yang melahirkan banjir bandang, deforestasi, konflik agraria, dan pencemaran yang merampas napas masyarakat adat dan petani kecil. Hutan gundul, air tercemar, udara sesak, dan tanah yang berubah menjadi perkebunan raksasa—itulah jejak langkah PSN
PSN dan Perubahan Regulasi Lingkungan
Sebelum UU Cipta Kerja, perlindungan lingkungan berakar pada UU No. 32 Tahun 2009, yang menempatkan izin lingkungan sebagai prasyarat mutlak usaha. Namun, setelah lahirnya UU No. 11/2020 jo. UU No. 6/2023, izin lingkungan direduksi menjadi persetujuan lingkungan yang menyatu dalam perizinan berbasis risiko.
Perubahan ini melemahkan partisipasi publik, mengabaikan prinsip kehati-hatian, dan memusatkan kewenangan pada pemerintah pusat. Regulasi tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan pada korporasi.
Onrechtmatige Overheidsdaad: PMH oleh Negara
Pasal 1365 KUHPerdata menegaskan: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam praktik, Mahkamah Agung telah mengakui Onrechtmatige Overheidsdaad sebagai dasar gugatan terhadap pemerintah yang melanggar hak rakyat[1]. Ketika negara mengubah regulasi lingkungan dengan sadar sehingga hak konstitusional rakyat (Pasal 28H UUD 1945) dilanggar, maka unsur PMH terpenuhi.
Kejahatan Lingkungan Struktural
UU No. 32/2009 mengatur tindak pidana lingkungan hidup yang dapat dikenakan bukan hanya pada korporasi, tetapi juga pada pejabat yang memberi izin atau melakukan pembiaran (Pasal 97–120). Dalam doktrin structural environmental crime, negara dapat dianggap sebagai pelaku utama kerusakan jika kebijakan yang dilahirkan justru melanggengkan perusakan.
PSN dan UU Cipta Kerja menjadi contoh nyata: negara bukan hanya membiarkan, melainkan turut serta merancang jalan perusakan alam.
Ganjaran Hukum: Pidana dan Ganti Rugi
Dari perspektif hukum, dua jalur pertanggungjawaban terbuka:
1. Pidana Lingkungan
Presiden maupun pejabat yang terlibat dapat diduga sebagai intellectual actor kejahatan lingkungan jika terbukti kebijakan mereka secara langsung memfasilitasi tindak pidana ekologis. Dalam kerangka command responsibility, pertanggungjawaban pidana pejabat tinggi dimungkinkan.
2. Ganti Rugi (PMH)
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, masyarakat dapat menggugat negara melalui mekanisme class action. Seperti pada kasus Lumpur Lapindo, pengadilan mengakui bahwa pemerintah turut bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.
3. Pemiskinan Aset (Asset Forfeiture)
Jika terbukti ada keterlibatan pejabat negara dalam korupsi ekologi—yakni regulasi yang menguntungkan oligarki dan merugikan rakyat—maka jalur hukum perdata dan pidana membuka ruang penyitaan dan pemiskinan aset, sebagaimana berlaku pada tindak pidana korupsi dan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Keterangan Opini: Mungkinkah Jokowi Dilaporkan?
Secara teoritis-juridis, jawabannya adalah mungkin. Ada tiga basis hukum:
1. Pidana → UU 32/2009 memungkinkan pejabat yang lalai atau dengan sengaja memberi jalan bagi kerusakan lingkungan dituntut pidana.
2. Perdata → Pasal 1365 KUHPerdata memberi ruang gugatan PMH terhadap Presiden sebagai kepala pemerintahan yang melahirkan kebijakan yang merugikan rakyat.
3. Pemiskinan → jika dapat dibuktikan adanya relasi kepentingan ekonomi (oligarki) dalam lahirnya UU dan PSN, maka instrumen perampasan aset hasil kejahatan lingkungan dapat digunakan.
Namun, praktik politik-hukum Indonesia menghadapi kendala: imunitas jabatan Presiden selama masa jabatan (Pasal 7A UUD 1945). Dengan demikian, proses hukum pidana dan perdata secara langsung terhadap Presiden cenderung menunggu berakhirnya masa jabatan atau dilakukan melalui mekanisme pemakzulan (impeachment).
PSN seharusnya menjadi jalan kesejahteraan, bukan jalan kehancuran. Ketika Presiden dan negara menukar perlindungan lingkungan dengan karpet merah bagi korporasi, maka itu adalah Onrechtmatige Overheidsdaad yang membawa konsekuensi pidana dan perdata.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Jokowi bisa dilaporkan, melainkan kapan keberanian rakyat dan penegak hukum diuji untuk melaporkannya. Karena sejarah selalu menuntut, dan hukum—meski sering tertidur—pada waktunya akan menjadi palu yang mengguncang singgasana.
Catatan Kaki
[1] Putusan Mahkamah Agung RI No. 31 K/Sip/1992 (Kasus Waduk Kedung Ombo): pemerintah dinyatakan melakukan PMH karena melanggar hak masyarakat.
Posting Komentar