BONE, SULSEL — Aktivitas tambang pasir dan galian C di dua kecamatan di Kabupaten Bone, yakni Desa Nagauleng, Kecamatan Cenrana dan Desa Lea, Kecamatan Tellusiattinge, kini menjadi sorotan publik.
LSM Inakor Sulsel menilai praktik tambang tersebut tidak hanya merusak lingkungan secara masif, tetapi juga melanggar sejumlah regulasi hukum dan diduga dilakukan pembiaran oleh pemerintahan dari tingkat desa, kecamatan hingga aparat penegak hukum.
Hasil investigasi yang dilakukan LSM Inakor Sulsel pada 25 April 2025, menemukan aktivitas penambangan ini telah menyebabkan:
* Abrasi hebat yang merusak rumah warga, seperti yang terjadi di Desa Lea, di mana satu rumah warga bahkan nyaris roboh akibat erosi tanah di sekitarnya.
* Kerusakan permanen pada ekosistem sungai dan DAS (Daerah Aliran Sungai).
* Gangguan pada aliran air dan sumber mata air masyarakat, serta peningkatan risiko banjir dan longsor.
* Polusi debu dan suara, serta kerusakan infrastruktur jalan akibat aktivitas kendaraan tambang.
Aktivitas tambang ini diduga kuat melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain:
* Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 69 ayat (1) yang melarang perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
* UU No. 3 Tahun 2020, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang mengatur bahwa setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan dokumen lingkungan hidup.
* UU No. 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, jika kegiatan tambang dilakukan di luar zona tambang yang ditetapkan dalam RTRW.
* Dugaan pelanggaran terhadap PP No. 22 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya terkait Amdal/UKL-UPL.
Ketua LSM Inakor menyinggung dugaan pembiaran yang dilakukan oknum aparat desa, kecamatan, dan aparat penegak hukum. Aktivitas tambang sudah berlangsung cukup lama tanpa hambatan berarti, bahkan dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam pada malam hari.
Praktik ini menunjukkan adanya pola main “kucing-kucingan” yang kuat dugaan telah diketahui oleh aparat, tetapi tidak ditindaklanjuti.
“Sudah ada rumah warga yang hampir ambruk, tetapi tidak ada tindakan dari pemerintah desa, kecamatan, maupun aparat penegak hukum. Ini patut dicurigai sebagai pembiaran yang disengaja,” ujar Asri, memberi keterangan melalui awak media sambungan selulernya (14/6/25).
Tindak Lanjut Penegakan Hukum
Untuk diketahui, berdasarkan dokumen resmi yang disampaikan Ketua DPW LSM Inakor Sulsel menyatakan bahwa kasus tambang ilegal ini telah dikami laporkan sejak 2024 dan penanganan perkara ini telah masuk ke tahap penyelidikan. Hal ini tertuang dalam :
* Laporan Informasi Nomor: R/LI – 19/II/RES.5.5/2025, Tanggal 17 Februari 2024, dan
* Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/157/III/RES.5.5/2025, Tanggal 17 Februari 2025.
Namun, Asri menyayangkan lambannya penanganan laporan tersebut oleh kepolisian, mengingat laporan informasi telah dibuat sejak 17 Februari 2024, tetapi baru diterbitkan surat perintah lidik satu tahun kemudian pada 17 Februari 2025, dan sejak laporan yang kami masukkan ke pihak berwajib, LSM Inakor terus melakukan pemantuan aktivitas penambangan tersebut, unngkapnya.
"Ini menunjukkan kelambanan serius dalam proses penanganan kasus oleh pihak kepolisian. Kami mempertanyakan komitmen aparat dalam menangani persoalan yang jelas-jelas berdampak pada keselamatan warga dan kerusakan lingkungan," ujar Asri.
LSM Inakor mendesak beberapa lembaga untuk segera turun tangan:
* Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, untuk melakukan evaluasi teknis terhadap perubahan struktur sungai dan kerusakan bantaran yang terjadi akibat tambang.
* Gakkum KLHK, agar segera melakukan investigasi lapangan, menyegel tambang ilegal, menjatuhkan sanksi administratif dan pidana sesuai peraturan perundang-undangan, serta mendorong pemulihan lingkungan.
* Polres Bone dan Polda Sulsel, untuk segera mengusut dan menindak para pelaku tambang ilegal, termasuk kemungkinan keterlibatan aparat yang terindikasi membekingi atau membiarkan aktivitas ini.
Tuntutan Keadilan Lingkungan dan Perlindungan Warga
LSM Inakor menekankan bahwa kegiatan tambang yang membahayakan keselamatan warga merupakan pelanggaran serius terhadap hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2009.
“Kami menuntut agar penegakan hukum dilakukan secara transparan dan menyeluruh, tanpa tebang pilih. Pemerintah dan aparat tidak boleh diam melihat rakyatnya dirugikan oleh tambang yang jelas-jelas ilegal dan merusak,” tegas Asri.
LSM Inakor juga mengajak masyarakat dan media untuk terus mengawal isu ini dan menyuarakan dampak yang dirasakan warga, agar mendapat perhatian publik dan tindakan nyata dari pemerintah.
(*/R35)
Sumber : Asri - Ketua.DPW LSM INAKOR Sulsel
Posting Komentar